Emha Hamdan Habibie, 27 November 2025
Berbicara mengenai diskusi kami dalam komunitas Bhumi Literasi, saya sebagai salah satu pengurus merasa terhormat diberikan kesempatan untuk berjuang dalam dunia literasi, sebagaimana yang saya perjuangkan di media sosial. Jika berbicara mengenai memperjuangan literasi dari akar rumput, sebagaimana yang sudah dibahas dalam rapat tertutup itu, berangkat dari pengalaman saya sebagai pemerhati sejarah di media sosial terutama di Youtube, saya memandang bahwa akar rumput literasi hari ini tidak selalu harus dimaknai harus berangkat dari desa, sekolah, atau dari ruang fisik semata.
Bagi saya, itu semua sangat penting, sama pentingnya apa yang dijelaskan oleh Gus Ilmi Najib sebagai orang yang pernah terjun langsung ke masyarakat dalam memperjuangkan literasi. Tetapi bagi saya, akar rumput yang jauh lebih luas dan sangat aktif hari ini justru berada di media sosial, terutama di YouTube.
Sepengalaman saya dan sependek pengamatan saya, di sanalah jutaan orang setiap hari menonton, menyerap informasi, membentuk opini, bahkan menentukan sikap terhadap sejarah, politik, dan realitas sosial. Namun masalahnya, tidak semua yang menonton benar-benar sedang berliterasi. Banyak yang menonton, tetapi tidak memahami. Banyak yang mengomentari, tetapi tidak membaca secara utuh. Di titik inilah saya melihat bahwa literasi hari ini bukan hanya soal membaca atau menulis, tetapi juga soal merespons dengan nalar dan akal sehat.
Saya direkrut dalam kepengurusan komunitas Bumi Literasi bukan dari dunia peliterasian seperti penerbitan, sekolah, pengalaman dalam gerakan literasi, atau gerakan desa, tetapi dari medan yang lebih liar dan tidak selalu ramah, tak lain dan tidak bukan adalah media sosial. Di sana saya berhadapan langsung dengan konten hoaks sejarah, potongan narasi yang menyesatkan, dan distorsi peristiwa yang dikemas seolah-olah sebagai infromasi yang benar dan kredibel.
Saya melihat sendiri bagaimana sejarah bisa menjadi jembatan literasi bagi masyarakat awam atau orang-orang yang mungkin tidak pernah membuka buku sejarah, tetapi mau menonton dokumenter satu jam jika disampaikan dengan jujur, dekat, relevan dan tentu saja tidak memihak atau objektif. Dari situ saya belajar bahwa literasi tidak ditentukan oleh medianya, melainkan oleh apakah pengetahuan itu mampu menggerakkan orang untuk berpikir.
Karena itu, pandangan saya di komunitas Bumi Literasi saya maknai sebagai ikhtiar membuka jalur perjuangan literasi dari sisi yang berbeda. Bukan dari buku ke masyarakat, tetapi dari layar ke kesadaran berpikir. Saya ingin agar literasi di kanal YouTube tidak berhenti pada tontonan semata, juga tidak berhenti pada aktivitas menulis saja, tetapi tumbuh sampai pada keberanian untuk merespon, bertanya, menyanggah, menguji, dan mencari sumber.
Di ruang digital inilah saya melihat literasi sebagai kerja panjang untuk membentuk masyarakat yang tidak hanya melek huruf, tetapi juga melek nalar, dan tidak mudah digiring oleh kebohongan. Sekali lagi ini hanyalah sudut pandang lain saya yang mungkin agak berbeda dari kebanyakan dan pendapat saya ini juga banyak yang harus dikoreksi. Mari kita berjuang chapter demi chapter, bukan untuk menghkatamkan, tapi untuk memperjuangan apa yang menjadi tujuan kita.

.png)
