Dalam dunia kerja, tidak semua tantangan datang dari tugas atau tekanan target. Ada kalanya justru rekan kerja menjadi sumber hambatan terbesar. Terutama ketika seseorang menunjukkan kemalasan, kontribusi yang minim, namun secara paradoks berusaha tampil paling bekerja keras. Fenomena ini bukan hal baru, tetapi tetap menjadi persoalan serius yang mengganggu produktivitas, keharmonisan, dan kesehatan mental tim.
Rekan kerja dengan karakter seperti ini biasanya memiliki satu pola: minim kinerja, tetapi maksimal pencitraan. Alih-alih memperbaiki kompetensi diri, mereka lebih suka menjatuhkan kerja keras orang lain demi terlihat menonjol di mata pimpinan. Ironisnya, strategi seperti ini sering dilakukan secara halus dan membungkus diri dengan kedok “menjalankan tugas”.
Salah satu modus yang sering muncul adalah sikap terlalu rajin mengoreksi hal-hal kecil yang sebenarnya tidak relevan atau bahkan mengganggu. Koreksi tersebut bukan dilakukan untuk meningkatkan kualitas pekerjaan, tetapi sekedar cara agar terlihat aktif. Hasilnya justru merusak alur kerja yang sudah dibangun tim dengan susah payah, dan membuat proses menjadi lebih lambat serta tidak efisien.
Menghadapi rekan seperti ini memerlukan strategi emosional dan profesional yang matang. Menghadapi dengan emosi hanya akan membuka peluang mereka memutarbalikkan fakta. Sebaliknya, sikap tenang dan objektif akan memperlihatkan bahwa tindakan mereka tidak bisa memprovokasi respon negatif yang merugikan kita sendiri.
Langkah pertama adalah menjaga kualitas kerja dan dokumentasi. Bukti kerja yang rapi, jelas, dan terstruktur adalah perlindungan terbaik ketika ada pihak yang mencoba menjatuhkan. Dengan catatan kerja yang akurat, tuduhan atau manipulasi dapat dengan mudah dipatahkan, sekaligus menunjukkan integritas kita sebagai profesional.
Langkah kedua adalah membangun komunikasi langsung namun elegan. Saat kesalahan bukan berasal dari kita, jangan ragu untuk meluruskan dengan bahasa yang sopan namun tegas. Rekan kerja tipe pencitra biasanya mundur ketika berhadapan dengan keberanian berbasis fakta. Ketegasan bukan berarti agresif; ketegasan justru menunjukkan kita memahami standar profesionalisme.
Langkah ketiga adalah menjaga hubungan baik dengan rekan tim lainnya. Jaringan internal yang sehat akan menjadi penyeimbang terhadap pihak yang suka menjatuhkan. Dukungan moral dan profesional dari tim dapat mengurangi ruang manuver bagi mereka yang mencoba merusak kerja tim demi keuntungan pribadi.
Di sisi lain, penting untuk tetap menjaga jarak emosional dari individu bermasalah tersebut. Tidak perlu membenci, cukup sadari bahwa pola kerja mereka bukan tanggung jawab kita untuk ubah. Fokus pada pencapaian pribadi dan kontribusi nyata jauh lebih bermanfaat daripada menghabiskan energi memikirkan perilaku negatif orang lain.
Jika situasi semakin parah dan mulai mengganggu stabilitas tim, melibatkan atasan atau HR bisa menjadi pilihan. Tentu, semuanya harus dilakukan dengan dasar bukti, bukan opini. Tujuan bukan untuk membalas, tetapi untuk menjaga kualitas lingkungan kerja agar tetap sehat, adil, dan produktif.
Menghadapi rekan kerja yang pemalas tetapi suka menjatuhkan orang lain membutuhkan kombinasi dari ketegasan, kecerdasan emosional, dan profesionalisme. Kita tidak bisa mengendalikan perilaku orang lain, tetapi kita selalu bisa mengendalikan cara kita menanggapi. Di tengah dinamika kerja seperti apa pun, integritas tetap menjadi benteng terkuat yang tidak bisa dihancurkan oleh strategi pencitraan apa pun.

.jpeg)
