-->
  • Jelajahi

    Copyright © Bhumi Literasi Anak Bangsa
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan


    Purbaya: Korupsi Seperti Akar, Dipotong Satu Tumbuh Seribu

    Bhumi Literasi
    Sunday, November 30, 2025, November 30, 2025 WIB Last Updated 2025-12-01T00:20:05Z

     


    Korupsi di Indonesia telah lama digambarkan sebagai penyakit kronis yang tidak kunjung sembuh. Analogi Purbaya bahwa korupsi seperti akar yang menjalar ke mana-mana sangat tepat untuk menggambarkan kompleksitas masalah ini. Akar tidak hanya tumbuh ke satu arah, tetapi menyebar, mencari celah, dan mengambil ruang yang memungkinkan. Begitu pula korupsi yang selalu menemukan tempat baru untuk bertumbuh meski satu titik telah dipotong atau diberantas. Inilah tantangan terbesar bangsa dalam melawan budaya yang merusak ini.

     

    Ketika satu kasus korupsi terungkap dan pelakunya ditindak, sering kali publik merasa seolah masalah telah selesai. Namun sebenarnya yang diberantas baru ujung akar yang muncul ke permukaan. Jaringan yang lebih besar, yang mungkin melibatkan aktor lain, institusi pendukung, atau celah regulasi, masih tetap hidup dan berfungsi. Tidak jarang kasus yang serupa muncul kembali dalam waktu singkat, menunjukkan betapa kuat dan dalamnya akar korupsi itu tertanam dalam sistem pemerintahan dan sosial kita.

     

    Akar korupsi tumbuh subur karena adanya kondisi yang mendukung keberadaannya. Lemahnya pengawasan, sistem birokrasi yang berbelit, dan minimnya transparansi membuka ruang bagi praktik-praktik tidak jujur. Di banyak tempat, budaya “asal ada bagian” dianggap wajar, bahkan menjadi semacam norma tak tertulis. Selama masyarakat masih permisif terhadap hal-hal seperti ini, akar korupsi akan terus menemukan tanah yang subur untuk berkembang.

     

    Purbaya mengingatkan bahwa memberantas korupsi bukanlah sekedar menindak pelaku, tetapi memahami bagaimana jaringan itu bekerja. Korupsi sering melibatkan lebih dari satu orang; ia adalah kolaborasi antara pemberi dan penerima, antara kepentingan pribadi dan kelemahan sistem. Maka upaya pemberantasannya tidak bisa hanya reaktif. Harus ada pendekatan strategis yang menargetkan akar permasalahan, bukan hanya memotong rantingnya.

     

    Dalam pemerintahan, pembenahan regulasi menjadi langkah penting. Banyak celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk melakukan manipulasi. Ketika celah-celah ini tidak ditutup, korupsi akan terus berjalan meski pelaku sebelumnya sudah ditindak. Regulasi yang jelas, tegas, dan mudah dipahami menjadi fondasi bagi sistem yang lebih bersih, lebih aman, dan lebih tahan terhadap penyimpangan.

     

    Selain itu, reformasi birokrasi harus menjadi prioritas utama. Birokrasi yang efisien, transparan, dan memiliki standar pelayanan yang jelas akan memperkecil ruang gerak bagi praktik korupsi. Penggunaan teknologi dalam pelayanan publik, seperti digitalisasi proses administrasi, terbukti mampu mengurangi interaksi langsung yang sering kali menjadi ruang tawar-menawar. Namun reformasi ini harus konsisten dan tidak berhenti di tengah jalan, karena setiap jeda adalah peluang bagi “akar” korupsi untuk tumbuh kembali.

     

    Budaya integritas juga harus dibangun dari bawah ke atas. Pendidikan antikorupsi tidak cukup hanya diberikan di sekolah atau dalam pelatihan formal. Masyarakat perlu dibiasakan untuk memahami bahwa korupsi bukan sekedar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Ketika nilai kejujuran menjadi standar sosial yang dihargai, dukungan terhadap praktik korupsi akan semakin melemah.

     

    Di sisi lain, pemberdayaan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan tidak boleh diabaikan. Partisipasi publik yang aktif merupakan alat kontrol yang sangat efektif. Ketika masyarakat berani bersuara dan melaporkan penyimpangan, ruang gelap yang selama ini menjadi tempat persembunyian korupsi akan perlahan terbuka. Masyarakat yang sadar hak dan kewajibannya akan menjadi benteng kuat melawan kejahatan yang bersifat sistemik ini.

     

    Namun semua itu tidak akan berjalan tanpa keberanian politik dari pemimpin. Komitmen pemberantasan korupsi harus menjadi agenda utama, bukan sekedar janji kampanye. Pemimpin yang bersih dan tegas dalam mengambil keputusan akan menjadi teladan yang menggerakkan perubahan di tingkat bawah. Ketegasan dalam menindak staf, pejabat, atau siapapun yang terlibat, menunjukkan bahwa hukum berlaku untuk semua tanpa pengecualian.

     

    Analisa Purbaya tentang korupsi sebagai akar yang menjalar mengingatkan kita bahwa pemberantasannya tidak bisa dilakukan secara parsial. Ini adalah perjuangan panjang yang membutuhkan konsistensi, kolaborasi, dan keberanian. Selama bangsa ini tidak mau menggali tanahnya sendiri untuk mencabut akar korupsi sampai tuntas, ia akan terus tumbuh, merusak, dan menghalangi kemajuan. Perubahan hanya akan terwujud ketika kita berani melakukan pembersihan dari dalam, seutuhnya, hingga ke akar terdalamnya.

    Komentar

    Tampilkan