Peringatan Hari Guru Nasional tahun ini meninggalkan sebuah momen yang mencuri perhatian publik. Saat Mendikdasmen Prof. Abdul Mu’ti menyampaikan sambutannya, ia menyebut nama Menkeu Purbaya sebanyak dua kali. Pada detik itu juga, seluruh ruangan berubah menjadi gemuruh sorakan dan tepuk tangan para guru. Spontanitas tersebut menggambarkan betapa kuatnya kepercayaan dan kecintaan rakyat terhadap sosok Menkeu yang selama ini dikenal lugas, tegas, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Respons riuh itu bukan sekedar ekspresi kaget atau kagum, tetapi menandakan adanya kedekatan emosional antara para pendidik dengan sang Menteri Keuangan. Di tengah kompleksitas persoalan pendidikan dan tuntutan peningkatan kesejahteraan guru, figur Purbaya tampaknya dianggap sebagai sosok yang mampu memberi harapan baru. Sorakan yang menggema menjadi simbol dukungan moral dari para penggerak pendidikan di seluruh Indonesia.
Prof. Abdul Mu’ti sendiri tampak tidak menyangka bahwa penyebutan nama Purbaya akan memicu gelombang antusiasme sedemikian besar. Namun justru itulah yang menjadi bukti bahwa kebijakan yang pro-rakyat selalu menemukan pantulannya di hati masyarakat. Perayaan Hari Guru Nasional kali ini pun berubah menjadi panggung spontan tempat rakyat menyampaikan apresiasi kepada pemimpinnya.
Para guru yang hadir dalam acara tersebut sebagian besar menilai bahwa selama kepemimpinan Purbaya, berbagai program pendanaan untuk pendidikan berjalan lebih efektif dan menyentuh kebutuhan dasar. Transparansi anggaran, alokasi yang lebih tepat sasaran, serta perhatian kepada guru honorer menjadi catatan positif yang banyak diapresiasi. Tidak mengherankan jika nama Purbaya memiliki resonansi kuat di kalangan tenaga pendidik.
Fenomena sorakan meriah ini juga menunjukkan bahwa masyarakat semakin selektif dalam menilai pemimpin. Mereka tidak hanya melihat jabatan, tetapi juga menilai integritas dan keberpihakan seorang pejabat. Dalam hal ini, Purbaya memperoleh tempat khusus karena dianggap bekerja dengan pendekatan yang realistis dan penuh tanggung jawab.
Momen tersebut menegaskan bahwa kepercayaan publik tidak bisa dipoles dengan pencitraan, tetapi lahir dari kinerja nyata. Sorakan yang terjadi saat nama Purbaya disebut bukanlah sesuatu yang bisa direkayasa. Ia lahir dari pengalaman dan persepsi kolektif masyarakat yang merasakan dampak kebijakan pemerintah secara langsung.
Dalam acara sebesar Hari Guru Nasional, reaksi spontan seperti itu juga menandai sebuah era baru hubungan pemerintah dengan para pendidik. Guru tidak lagi hanya menjadi objek kebijakan, tetapi menjadi suara publik yang mampu memberi penilaian terhadap pejabat negara. Dan kali ini, penilaian itu disampaikan dengan sorakan yang sangat jelas maknanya.
Di balik momen tersebut, terdapat pesan bahwa pemerintah dan masyarakat dapat berjalan seiring jika komunikasi dan kebijakan dilakukan dengan saling menghargai. Keberhasilan seorang pejabat tidak hanya terukur dari angka-angka statistik, tetapi dari rasa diterima dan dihargainya ia oleh rakyat yang dipimpinnya.
Sorakan untuk Purbaya pada peringatan tersebut menjadi gambaran tentang bagaimana publik memandang masa depan pengelolaan anggaran negara. Ada optimisme yang tumbuh, ada harapan yang menguat, dan ada keyakinan bahwa arah pengelolaan keuangan negara berada di tangan yang tepat.
Hari Guru Nasional tahun ini tidak hanya menjadi momentum penghormatan bagi para pendidik, tetapi juga momentum pengakuan publik terhadap pemimpin yang bekerja sepenuh hati. Riuh sorakan ketika nama Menkeu Purbaya disebut menjadi simbol cinta rakyat, sebuah penghargaan yang tak ternilai dan tak bisa dibeli oleh apa pun.

