Di tengah arus perkembangan teknologi dan informasi yang begitu cepat, kondisi literasi di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Berbagai survei internasional menempatkan Indonesia pada posisi yang memprihatinkan dalam hal kemampuan membaca, memahami, dan menggunakan informasi secara kritis. Padahal, kemampuan literasi merupakan fondasi penting bagi kemajuan bangsa, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, maupun pembangunan sosial. Ketika kemampuan literasi masyarakat lemah, dampaknya tidak hanya terlihat pada hasil akademik, tetapi juga pada rendahnya partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan.
Masalah literasi di Indonesia bukan hanya soal minat baca, tetapi juga kualitas akses terhadap bahan bacaan yang layak. Banyak wilayah, terutama di daerah terpencil, masih kekurangan fasilitas seperti perpustakaan, buku berkualitas, dan tenaga pendidik yang mampu membimbing anak-anak mengembangkan kebiasaan membaca. Ketimpangan infrastruktur pendidikan ini secara tidak langsung memperlebar jarak antara daerah perkotaan dan pedesaan, menciptakan kesenjangan kualitas sumber daya manusia yang semakin sulit diatasi.
Selain itu, tantangan literasi masa kini semakin kompleks karena tidak hanya menyangkut kemampuan membaca teks, tetapi juga literasi digital. Masyarakat kini dibanjiri informasi dari berbagai platform media, namun tidak semuanya dapat diolah atau dipahami dengan baik. Rendahnya literasi digital membuat sebagian masyarakat rentan terhadap hoaks, misinformasi, dan manipulasi opini publik. Jika literasi dasar saja masih lemah, maka kemampuan memilah informasi digital menjadi tantangan yang lebih berat.
Pendidikan formal memiliki peran krusial dalam membangun budaya literasi sejak dini. Namun sayangnya, budaya membaca di sekolah sering kali masih dipandang sebagai aktivitas tambahan, bukan kebutuhan utama. Anak-anak lebih banyak diarahkan untuk mengejar nilai ujian daripada memahami makna dan konteks bacaan. Kurikulum yang padat dan metode pembelajaran yang kurang dialogis turut menghambat berkembangnya kemampuan berpikir kritis.
Peran keluarga juga tidak bisa diabaikan dalam pembentukan karakter literasi. Rumah adalah ruang pertama bagi anak untuk mengenal buku, cerita, dan pengetahuan. Namun, banyak orang tua yang belum memiliki kesadaran untuk menanamkan kebiasaan membaca di rumah, baik karena kesibukan, minimnya pengetahuan, maupun keterbatasan ekonomi. Padahal, beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang gemar membaca cenderung memiliki kemampuan literasi yang lebih baik.
Selain sekolah dan keluarga, ekosistem literasi nasional membutuhkan dukungan kuat dari pemerintah dan sektor swasta. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan yang mendukung pemerataan infrastruktur literasi, seperti penyediaan perpustakaan desa, taman baca masyarakat, dan insentif bagi penerbit untuk memproduksi buku berkualitas dengan harga terjangkau. Sementara itu, sektor swasta dapat berkontribusi melalui program CSR yang fokus pada pendidikan dan literasi.
Komunitas literasi yang kini berkembang di berbagai daerah membuktikan bahwa gerakan masyarakat mampu memberikan dampak signifikan. Taman baca berbasis komunitas, perpustakaan keliling, hingga kampanye literasi digital menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat terhadap masa depan literasi masih tinggi. Namun, keberlangsungan komunitas-komunitas ini sering kali terkendala oleh minimnya pendanaan dan perhatian pemerintah.
Keterlibatan generasi muda sangat penting dalam usaha memperbaiki kondisi literasi. Kaum muda yang melek digital memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak literasi melalui konten kreatif, edukasi berbasis media sosial, hingga proyek sosial yang menyasar pelajar di daerah terpencil. Dengan cara ini, literasi tidak lagi dipandang sebagai aktivitas tradisional, tetapi sebagai gerakan modern yang relevan dengan gaya hidup masa kini.
Jika Indonesia ingin bersaing di tingkat global, penguatan literasi harus menjadi agenda prioritas nasional. Tanpa masyarakat yang mampu membaca situasi, memahami informasi, dan berpikir kritis, sulit bagi bangsa ini untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Literasi bukan semata kegiatan membaca buku, melainkan kemampuan untuk memahami dunia dan mengambil peran di dalamnya.
Membangun bangsa yang maju dimulai dari membangun masyarakat yang literat. Indonesia membutuhkan komitmen kolektif untuk menciptakan generasi yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Masa depan Indonesia ada pada kemampuan warganya untuk membaca, memahami, dan menafsirkan kehidupan. Tanpa literasi yang kuat, masa depan itu akan sulit tercapai. Dengan literasi, kita membuka jendela menuju peradaban yang lebih cerah.


