Kesalahpahaman publik terhadap Cacing Belalai (Ribbon Worm) menjadi contoh nyata bagaimana informasi ilmiah kerap tereduksi oleh narasi sensasional. Penyebutan hewan ini sebagai “cacing pita” di sejumlah pemberitaan bukan hanya keliru secara istilah, tetapi juga menyesatkan persepsi publik. Cacing pita adalah parasit berbahaya bagi manusia, sementara Cacing Belalai merupakan predator laut bebas yang tidak memiliki hubungan langsung dengan kesehatan manusia. Kekeliruan ini menciptakan ketakutan yang tidak berdasar sekaligus mengaburkan nilai ilmiah yang sebenarnya menarik.
Fenomena salah kaprah ini memperlihatkan lemahnya literasi sains dalam ruang publik. Banyak media lebih tertarik pada judul mengejutkan daripada akurasi informasi. Padahal, ketelitian dalam menyampaikan fakta biologi sangat penting agar masyarakat tidak memandang dunia fauna secara keliru. Kesalahan sederhana seperti penamaan dapat berujung pada pemahaman yang salah tentang fungsi, perilaku, dan peran suatu organisme dalam ekosistem.
Di balik tampilannya yang sering dianggap menjijikkan, Cacing Belalai sejatinya adalah predator laut yang sangat efisien. Senjata utamanya, belalai atau proboscis, bukan bagian dari sistem pencernaan seperti yang sering diasumsikan. Organ ini tersimpan dalam rongga khusus bernama rhynchocoel dan dapat ditembakkan dengan tekanan hidrolik yang luar biasa cepat. Mekanisme ini menunjukkan tingkat adaptasi evolusioner yang menakjubkan.
Kemampuan belalai yang bisa meluncur jauh lebih panjang dari tubuhnya sendiri membuat Cacing Belalai menjadi pemburu yang mematikan bagi mangsa kecil di dasar laut. Strategi berburu ini bukan hanya unik, tetapi juga mencerminkan bagaimana alam mengembangkan solusi kompleks tanpa teknologi buatan. Sayangnya, aspek ini jarang mendapat sorotan karena tertutup oleh narasi sensasi dan rasa jijik.
Kekaguman terhadap hewan ini semakin besar ketika membahas spesies Lineus longissimus. Dengan panjang yang dapat melebihi 55 meter, spesies ini tercatat sebagai hewan terpanjang di dunia, bahkan melampaui paus biru. Fakta ini seharusnya mengguncang cara kita memandang konsep “besar” dan “luar biasa” dalam dunia hewan, yang selama ini didominasi oleh mamalia raksasa.
Namun panjang ekstrem bukan satu-satunya keistimewaan Cacing Belalai. Tubuhnya dilapisi lendir yang sering kali beracun atau setidaknya sangat tidak enak bagi predator. Sistem pertahanan ini menunjukkan bahwa hewan tanpa tulang dan tanpa cakar pun mampu bertahan hidup melalui strategi kimiawi yang efektif. Ini adalah bukti bahwa kekuatan dalam alam tidak selalu identik dengan ukuran atau keganasan fisik.
Selain itu, kemampuan regenerasi Cacing Belalai memperlihatkan potensi biologis yang luar biasa. Beberapa spesies mampu menumbuhkan kembali bagian tubuh yang hilang, bahkan dari potongan kecil. Kemampuan ini seharusnya menjadi bahan kajian serius karena dapat memberikan wawasan bagi penelitian regenerasi jaringan dan biologi perkembangan.
Sayangnya, minimnya perhatian pada sisi ilmiah membuat potensi edukatif dari makhluk seperti Cacing Belalai terabaikan. Publik lebih sering disuguhi rasa takut dan sensasi, bukan pemahaman. Akibatnya, hewan-hewan laut yang seharusnya dipelajari justru dipandang sebagai ancaman atau keanehan semata.
Media memiliki peran strategis dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap sains. Ketika akurasi dikorbankan demi klik dan viralitas, yang lahir bukan pengetahuan, melainkan kebingungan massal. Cacing Belalai hanyalah satu contoh dari banyak kasus di mana kekayaan ilmu pengetahuan kalah oleh narasi yang dangkal.
Cara kita memperlakukan informasi tentang Cacing Belalai mencerminkan kedewasaan kita sebagai masyarakat yang mengaku mencintai sains. Dengan pendekatan yang lebih akurat, kritis, dan edukatif, makhluk-makhluk yang selama ini dianggap remeh justru dapat membuka mata kita tentang kompleksitas dan keajaiban kehidupan di laut.

