Power syndrome adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi psikologis dan perilaku seseorang yang berubah secara signifikan setelah memperoleh kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud bisa berasal dari jabatan, status sosial, kekayaan, atau pengaruh tertentu. Dalam kondisi ini, individu cenderung merasa dirinya lebih penting, lebih benar, dan lebih berhak dibandingkan orang lain.
Fenomena power syndrome sering muncul secara perlahan dan tidak disadari oleh penderitanya. Pada awalnya, kekuasaan memberikan rasa percaya diri dan tanggung jawab. Namun, seiring waktu, kekuasaan yang tidak diimbangi dengan kontrol diri dan nilai moral dapat menumbuhkan sikap arogan, dominan, dan otoriter.
Salah satu ciri utama power syndrome adalah menurunnya empati. Individu yang mengalaminya sering kali sulit memahami perasaan dan kebutuhan orang lain. Mereka lebih fokus pada kepentingan pribadi atau kelompoknya, serta cenderung mengabaikan dampak keputusan yang diambil terhadap pihak yang lebih lemah.
Selain itu, power syndrome juga ditandai dengan kecenderungan menyalahgunakan wewenang. Penyalahgunaan ini bisa berupa keputusan sepihak, praktik tidak adil, hingga tindakan korupsi. Kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk melayani justru berubah menjadi alat untuk mengontrol dan menekan.
Dari sudut pandang psikologi, power syndrome berkaitan dengan perubahan cara otak memproses informasi sosial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekuasaan dapat menurunkan kemampuan seseorang untuk menerima kritik dan meningkatkan rasa superioritas. Hal ini membuat individu sulit melakukan refleksi diri.
Dampak power syndrome tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya. Dalam organisasi, pemimpin dengan power syndrome dapat menciptakan suasana kerja yang tidak sehat, penuh ketakutan, dan minim partisipasi. Akibatnya, kinerja tim dan kepercayaan publik bisa menurun.
Dalam kehidupan sosial dan politik, power syndrome dapat berujung pada kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat luas. Ketika penguasa merasa dirinya tidak dapat disentuh oleh hukum atau kritik, prinsip keadilan dan demokrasi menjadi terancam. Sejarah menunjukkan bahwa banyak konflik besar berawal dari penyalahgunaan kekuasaan.
Pencegahan power syndrome membutuhkan kesadaran diri yang tinggi. Pendidikan karakter, nilai etika, dan integritas menjadi fondasi bagi mereka yang memegang kekuasaan. Selain itu, sistem pengawasan dan mekanisme checks and balances juga berperan dalam membatasi potensi penyimpangan.
Lingkungan yang berani menyampaikan kritik secara konstruktif juga dapat membantu mencegah power syndrome. Ketika pemimpin dikelilingi oleh orang-orang yang jujur dan tidak takut berbeda pendapat, peluang terjadinya sikap absolut dan arogan dapat dikurangi. Dialog terbuka menjadi kunci kesehatan kepemimpinan.
Power syndrome mengingatkan kita bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak mutlak. Kekuasaan yang sehat adalah kekuasaan yang dijalankan dengan kerendahan hati, tanggung jawab, dan empati. Dengan memahami power syndrome, masyarakat dapat lebih waspada dan mendorong lahirnya pemimpin yang berintegritas.


