-->
  • Jelajahi

    Copyright © Bhumi Literasi Anak Bangsa
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan


    Rocky Gerung: Frasa Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Justru Melecehkan Guru

    Bhumi Literasi
    Tuesday, December 9, 2025, December 09, 2025 WIB Last Updated 2025-12-10T02:54:44Z


    Rocky Gerung, dalam perbincangannya bersama Gita Wirjawan di kanal YouTube Endgame 30, melontarkan kritik tajam terhadap frasa “pahlawan tanpa tanda jasa” yang selama ini dilekatkan pada profesi guru. Menurutnya, frasa yang terkesan mulia itu justru bersifat derogatif karena secara tidak langsung menjadi pembenaran struktural atas pengabaian kesejahteraan guru di Indonesia.

    Ia menjelaskan bahwa romantisme pengabdian yang disematkan kepada guru seringkali menghalangi proses profesionalisasi. Guru dituntut untuk bekerja dengan dedikasi tinggi, namun tanpa dukungan kesejahteraan yang memadai. Akibatnya, banyak guru yang harus mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga fokus mereka dalam mendidik menjadi terganggu.

    Rocky menekankan bahwa persoalan ini bukan sekedar masalah persepsi, tetapi masalah sistemik dalam pembangunan pendidikan nasional. Selama profesi guru diposisikan dalam narasi pengabdian tanpa penghargaan materi yang layak, negara akan terus gagal menarik talenta terbaik untuk masuk ke sektor pendidikan.

    Dalam pandangannya, akar dari persoalan ini terletak pada fenomena brain drain di dunia pendidikan. Lulusan terbaik dari berbagai kampus di Indonesia lebih memilih bekerja di sektor korporasi, teknologi, atau keuangan yang menawarkan kompensasi jauh lebih tinggi daripada profesi guru. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan serius dalam pasar talenta nasional.

    Rocky menegaskan bahwa kualitas keluaran pendidikan tidak mungkin melampaui kualitas input talentanya. Jika profesi guru tidak mampu menarik orang-orang tercerdas, maka mustahil Indonesia berharap memiliki generasi unggul yang dihasilkan dari sistem pendidikan yang kuat dan kompetitif.

    Karena itu, Rocky mengajukan solusi yang tegas dan tidak kompromistis: peningkatan insentif guru secara radikal. Ia bahkan menyebutkan bahwa gaji dan fasilitas guru idealnya setara dengan posisi komisaris agar profesi ini memiliki daya tarik yang kuat di mata lulusan-lulusan top tier. Tujuannya bukan memanjakan guru, tetapi menciptakan persaingan sehat yang mendorong hanya yang terbaik untuk memasuki profesi tersebut.

    Ia menambahkan bahwa pemberian insentif besar bukanlah bentuk kemurahan hati negara terhadap guru. Sebaliknya, kesejahteraan yang tinggi justru memberikan negara legitimasi dan posisi tawar untuk menetapkan standar profesionalisme yang ketat dan seleksi berlapis dalam rekrutmen guru.

    Rocky memberikan contoh tentang Korea Selatan, negara yang berhasil mengubah wajah pendidikannya melalui standar rekrutmen guru yang sangat tinggi. Di sana, hanya kandidat dengan kompetensi perfect score yang berhak menjadi guru. Standar semacam itu hanya dapat diberlakukan jika profesi guru mampu menawarkan insentif setimpal yang membuat talenta terbaik bersedia bersaing.

    Menurut Rocky, Indonesia perlu belajar dari model tersebut. Untuk menghasilkan pendidikan bermutu, prosesnya harus dimulai dari hulu: memastikan bahwa profesi guru dihuni oleh orang-orang paling terampil, paling cerdas, dan paling siap berkompetisi. Tanpa itu, berbagai reformasi pendidikan hanya akan menjadi slogan yang tidak menyentuh akar persoalan.

     

    Rocky menegaskan bahwa pembenahan pendidikan tidak bisa lagi mengandalkan semangat pengabdian semata. Profesionalisme hanya akan lahir jika negara berani mengubah paradigma, memberikan insentif yang layak, dan menjadikan profesi guru sebagai karier bergengsi yang mampu menarik perhatian talenta terbaik bangsa. Kritiknya mengajak publik untuk melihat persoalan pendidikan bukan dari romantisme, tetapi dari realitas pasar talenta dan kebutuhan strategis masa depan bangsa. 

    Komentar

    Tampilkan