Selamat sore dari Kota Jakarta, kota yang selalu tampak tergesa namun diam-diam menyimpan keheningan di sudut-sudut tertentu. Pada jam-jam seperti ini, ketika manusia memenuhi trotoar dan jalan raya, ada sepotong ketenangan yang datang dari langit, menyapa siapa pun yang ingin melihatnya.
Langit jingga muncul perlahan, seperti seseorang yang membuka tirai dari balik jendela masa lalu. Warnanya lembut tetapi tegas, menenangkan tetapi juga menggetarkan. Ia menyelinap di sela-sela gedung pencakar langit, seakan ingin mengimbangi beton dan baja dengan sentuhan rasa yang lebih manusia.
Gedung-gedung itu berdiri kokoh, seolah tak pernah merasa lelah menopang ambisi kota. Namun saat senja turun, bahkan bayang-bayang mereka tampak melunak. Di sela-sela kaca dan besi, pantulan jingga menciptakan ilusi bahwa kota ini pun bisa hangat.
Pada jam pulang seperti ini, langkah-langkah manusia terdengar seperti irama yang tak pernah berhenti. Ada yang bergegas, ada yang berjalan pelan, ada pula yang berhenti sejenak untuk menunggu angin sore menyapa. Kita semua punya cerita yang berbeda, namun terhubung oleh waktu yang sama.
Lelah adalah aroma yang paling mudah dikenali di Jakarta. Ia menempel pada wajah-wajah yang baru keluar kantor, turut menumpang pada bahu yang sedikit membungkuk, dan bersembunyi di balik mata yang berusaha tetap berbinar. Tapi lelah juga punya keindahan: ia tanda bahwa kita telah berusaha.
Di antara lalu lalang, ada kita, manusia yang pulang dari perjuangan harian yang tak pernah benar-benar mudah. Kita membawa pulang beban yang tak terlihat, kekhawatiran yang disamarkan senyum, serta mimpi-mimpi yang tak pernah ingin kita tinggalkan.
Namun meski lelah, kita tak pernah benar-benar kehilangan arah. Kita tahu jalan kembali, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin. Ada rumah yang menunggu, ada orang-orang yang menghadiahi kita alasan untuk bertahan, ada tujuan yang menuntun langkah.
Senja yang bergantung di antara gedung-gedung itu seperti menepuk pundak kita, mengatakan bahwa semua usaha hari ini tak sia-sia. Bahwa kelelahan yang kita rasakan adalah bagian wajar dari perjalanan, bukan tanda untuk menyerah.
Jakarta mungkin keras, tetapi ia juga jujur. Ia menunjukkan bahwa hidup adalah tarik-menarik antara ambisi dan kesabaran, antara kerja keras dan ketulusan untuk menerima bahwa tidak semua hari harus sempurna. Kota ini mengajarkan kita cara bertahan tanpa kehilangan hati.
Dan ketika akhirnya kita melangkah pulang, dengan tubuh yang letih namun jiwa yang masih menyala, kita tahu bahwa kita telah menang hari ini. Meski kecil, meski sederhana. Di bawah langit jingga yang perlahan memudar, kita belajar bahwa pulang adalah perjalanan menuju diri yang terus tumbuh, yang tak pernah lelah mencintai hidup, sekalipun kadang hidup terasa melelahkan.

