Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato kenegaraan terakhirnya di hadapan anggota DPR dan DPD dalam Sidang Bersama di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (15/8). Pidato tersebut disampaikan menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-69 Kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus menandai akhir masa jabatan SBY setelah memimpin Indonesia selama dua periode.
Pidato kenegaraan ini menjadi yang kesepuluh kalinya disampaikan SBY sejak pertama kali terpilih sebagai Presiden pada 2004. Di bagian akhir pidatonya, SBY menyatakan bahwa pidato tersebut merupakan yang terakhir kalinya ia berbicara di hadapan DPR dan DPD sebagai Presiden Republik Indonesia. Pernyataan itu disambut dengan tepuk tangan dari para peserta sidang.
Dalam pidato yang berlangsung sekitar 60 menit tersebut, SBY menegaskan komitmennya selama menjabat sebagai kepala negara. Ia menyatakan tidak pernah tergoda untuk melanggar sumpah jabatan dan amanat rakyat. Menurutnya, setiap kebijakan yang diambil selama memimpin Indonesia selalu didasarkan pada niat untuk menjaga kepentingan bangsa dan negara.
SBY juga menyampaikan refleksi pribadi mengenai pentingnya menjaga jati diri bangsa atau yang ia sebut sebagai “ke-Indonesia-an”. Ia mengingatkan bahwa kemajuan ekonomi dan modernisasi tidak akan berarti jika bangsa Indonesia kehilangan nilai-nilai fundamental seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, persatuan, toleransi, pluralisme, kesantunan, dan kemanusiaan.
Terkait hal tersebut, Presiden menegaskan sikap pemerintahannya yang menolak penyebaran paham radikal ISIS di Indonesia. Menurut SBY, paham tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan dan berbahaya bagi persatuan nasional. Ia juga menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara ber-Ketuhanan, bukan negara agama.
Sebagian besar isi pidato SBY memuat paparan mengenai capaian dan klaim keberhasilan pemerintahannya selama 10 tahun terakhir. Di bidang politik, ia menyebut kondisi nasional relatif stabil dan persatuan bangsa semakin kokoh. Stabilitas tersebut, menurutnya, menjadi modal penting bagi pembangunan di berbagai sektor.
Di bidang penegakan hukum, SBY menyatakan pemerintahannya berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. Ia mengungkapkan telah menandatangani 176 izin pemeriksaan terhadap kepala daerah dan pejabat yang diduga terlibat kasus korupsi tanpa memandang jabatan, latar belakang politik, maupun koneksi yang dimiliki.
Presiden juga menyinggung keberhasilan di bidang perdamaian dan rekonsiliasi nasional. Ia menyebut penandatanganan perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai salah satu pencapaian penting, selain penerapan otonomi khusus dan upaya rekonsiliasi politik di Papua.
Di sektor ekonomi, SBY mengklaim pemerintahannya berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi nasional dengan rata-rata mencapai 5,9 persen pada periode 2009-2013. Angka tersebut, menurutnya, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang pada periode yang sama. Selain itu, rasio utang negara terhadap produk domestik bruto juga berhasil diturunkan secara signifikan.
Di penghujung pidato, SBY secara terbuka menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia. Dengan nada bergetar, ia mengakui telah melakukan kesalahan dan kekhilafan selama menjalankan tugas sebagai presiden. Dari lubuk hati yang terdalam, SBY meminta maaf atas segala kekurangan selama 10 tahun kepemimpinannya, menutup pidato kenegaraan terakhirnya dengan suasana haru.

